Kamis, 18 Mei 2017

kehendak berkuasa menurut pemikiran filsafat Nitzsche

Friedrich Wilhelm Nietzsche menjadi tokoh utama munculnya pembaruan dari filsafat modern menuju filsafat post-modern. Sumbangannya di dunia filsafat tidak perlu diragukan lagi. Mungkin, tidak ada filsuf yang lebih terkenal daripada Nietzsche. Pemikirannya yang radikal dan kontroversial  manjadi perbincangan hangat yang tidak ada habisnya.
Salah satu pemikirannya yang mengubah cara pandang para pemikir filsafat adalah konsep Tuhan sudah mati. Pemikiran tersebut merupakan hal yang baru karena menjadi pendobrak konsep lama yang didominasi oleh cara berpikir Kristen. Para ahli menyebut Nietzsche sebagai seorang penganut nihilisme. Nihilisme merupakan pendirian atau paham yang berporos pada ‘tiada apa-apa pun’. Seperti kaum nihilis yang lain, Nietzsche berpandangan bahwa diperlukan adanya sebuah “kehancuran” total untuk suatu perbaikan.


  Pemikiran Friedrich W. Nietzsche
Sebagaimana telah dijelaskan di atas pada dasarnya pemikiran Friedrich Nietzsche secara umum digolongkan menjadi tiga tahapan. Namun agaknya penulis disini bermaksud ingin menguraikan beberapa titik ajaran Nietzsche yang menurut K. Bertens dalam bentuk yang lebih matang, yaitu pada tahap ketiga. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa bukan berarti pikiran-pikiran ini belum ada dalam tahapan-tahapan terdahulu. Berikut ini beberapa pemikiran Nietzche.
1.      Kehendak Untuk Berkuasa
Kehendak untuk berkuasa merupakan hakikat dari dunia, hidup dan segala yang ada. Kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari segala-galanya. Kehendak untuk berkuasa ini jangan dipahami seperti halnya yang dipahami kaum metafisik, namun merupakan khaos yang tak mempunyai landasan apapun. Dapat juga dipahami kehendak untuk berkuasa merupakan suatu kekuatan yang memerintah (dirinya sendiri) tanpa mengandaikan pasivitas dan stabilitas.
Kehendak untuk berkuasa (Der wille zur Macht) ini dipengaruhi oleh Schopenhauer, namun juga ada sumber yang lain misalnya semangat berlomba dalam kebudayaan Yunani. Nietzsche mengutarakan prinsip ini dalam rangka filsafat manusia, akan tetapi pada ahirnya prinsip kehendak untuk berkuasa berlaku pada segala sesuatu yang ada (termasuk juga alam inorganis). Pendapat ini di gunakan untuk mendukung fasisme di Jerman.
Menurut Nietzsche dalam tingkah laku manusia (dan sebenarnya juga dalam semua kejadian alam semesta) satu-satunya faktor yang menentukan ialah daya pendorong hidup atau hawa nafsu. Daya disini tidak boleh dipahami dalam arti monistis, tetapi dipahami dalam arti pluralistis, tidak ada satu melainkan ada banyak daya pendorong hidup. Ia juga menjelaskan bahwa kehidupan merupakan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan dan perjuangan merupakan hal yang baik. Pikiran merupakan alat untuk mengendalikan insting (kehendak untuk hidup dan berkuasa), sedangkan pengetahuan memiliki nilai jika dapat meningkatkan dan mempertahankan kehidupan.
Berdasarkan pemahaman di atas Nietzsche mengatakan bahwa ada dua macam moral, yaitu moral tuan dan moral budak. Moral Tuan ialah manusia yang hidup dimana yang memberanikan diri untuk mewujudkan hawa nafsunya. Ia tidak mencari dalil roh dan tidak memakai roh sebagai topeng. Dapat dilihat pada individu yang kuat dan otonom. Moral Budak ialah Manusia yang hidup dimana yang tidak memberanikan diri untuk melampiaskan hawa nafsu , tetapi menyuruh roh untuk menaklukkan hawa nafsu. Disini yang dimaksud adalah kasih sayang, keramahan, dan kerendahan hati yang dijunjung tinggi.
2.      Uebermensch
Salah satu ajaran Nietzsche yang terkenal adalah ubermensch (manusia atas) dalam bahasa inggris biasanya dikatakan superman, tetapi menurut W. Kaufmann sebaiknya diterjemahkan overman. Tidak gampang untuk menyingkatkan pemikiran Nietzsche tentang ubermensch, sebab pemikirannya dalam hal ini acap kali samar-samar saja. Adapun pada umumnya dikatakan bahwa Nietzsche ingin memaparkan pendapatnya dalam konteks ateismenya.
Manusia yang ideal adalah ubermensch (manusia atas). Padanyalah kehendak untuk berkuasa membawa kepada penguasaan dunia yang secara sempurna. Penguasaan ini hanya dapat dicapai dalam penderitaan. Hanya siapa yang banyak menderitalah yang dapat berpikir, dan hanya pemikirlah yang sungguh-sungguh dapat menjadi penguasa. Ubermensch adalah manusia luhur, yaitu manusia yang mempunyai kekuatan kehendak yang lebih kuat, lebih berani, lebih mendorong untuk berkuasa, kurang simpati, kurang takut dan kurang sopan.
Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia. Dengan cara penilaian ini Nietzsche tidak lagi menaruh kepercayaan setiap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia. Bagi Nietzsche satu-satunya penghargaan akan hidup adalah dengan berkata “ya” pada hidup itu. Sikap manusia yang dapat mengafirmasi hidupnya dapat diibaratkan seperti laut. Tanpa harus menjalani murni, laut bersedia menampung berbagai aliran sungai yang penuh dengan polusi. Sebelum orang dapat mengafirmasi segala dorongan hidupnya, tak mungkin ubermensch tercipta. Lewat ubermensch manusia tidak lagi gentar terhadap dorongan hidupnya, dan manusia menjadi kerasan tinggal di dunia.
 Pada dasarnya ubermensch disini mengarahkan pada pemahaman bahwa “Allah telah mati”, tidak ada sesuatu pun yang melebihi atau mengatasi dunia ini. Ubermensch mengakui dunia ini seratus persen, ia menerima secara konsekuen bahwa ia sendiri merupakan “kehendak untuk berkuasa”. Hanya manusia ataslah yang masih hidup, dunia ini masih berarti karena manusia atas itu. Maka orang harus setia pada dunia ini, dan tidak usah percaya akan adanya harapan-harapan yang mengatasi dunia ini.
3.      Kembalinya Segala Sesuatu
Pada pemikiran ini yaitu Die ewige Wiederkehr des Gleichen (kembalinya segala sesuatu) Nietzsche mengatakan bahwa hal tersebut didapati dari sebuah ilham. Bila bumi kita nanti dihancurkan, dari materi yang tinggal akan berkembang lagi suatu bumi baru yang persis sama dengan bumi ini. Semua peristiwa yang pernah berlangsung akan terjadi lagi dengan cara yang persis sama. Dan proses itu akan diulangi dengan tak henti-hentinya, meskipun dalam jangka waktu yang panjang sekali. sejarah akan mencapai kesudahannya, akan tetapi tiap kesudahan menuntut adanya permulaan yang baru. Itulah sebabnya maka secara terus menerus segala sesuatu kembali lagi pada awalnya, atau juga semacam roda yang berputar.
Untuk membuktikan kebenaran kembalinya segala sesuatu Nietzsche mengatakan bahwa dunia kita ini merupakan suatu energi raksasa. Energi ini tidak bertambah atau berkurang, tidak mengembang atau menyusut, energi ini sudah sedemikian bulat, mapan dan mantap sehingga tak mungkin ada perubahan yang dapat mempengaruhi kuantitasnya. Dunia berlangsung dengan terjadinya proses kombinasi-kombinasi energi yang ada di dalamnya. Kombinasi-kombinasi ini jumlahnya bukan tak terbatas. Dalam jangka waktu tertentu semua kemungkinan kombinasi yang ada dapat terpenuhi semuanya, dan jika semua kombinasi sudah terpenuhi maka kemungkinan-kemungkinan kombinasi sudah terjadi akan terulang lagi
Gagasan Nietzsche tentang kembalinya segala sesuatu bermaksud bahwa hal tersebut merupakan rumusan afirmasi tertinggi yang dapat dicapai, serta merupakan ujian terahir bagi bukti adanya afirmasi akan hidup. Dengan kata lain sebelum orang mengalami dan menerima kembalinya segala sesuatu, dia belum mengafirmasi hidup dan dunia secara mutlak. Gagasan kembalinya segala sesuatu ini sebenarnya merupakan sebuah ajakan yang mengarahkan kita untuk mengafirmasi hidup dan dunia
4.      Kritik Atas Agama Kristen
Nietzsche termasuk filsuf-filsuf ateis yang paling ekstrem pada zaman modern. Kritiknya atas agama Kristen tersebut tersebar luar dalam berbagai karyanya, namun puncak kritik tersebut terdapat dalam bukanya yang berjudul Antikristus. Bagi Nietzsche peristiwa yang paling menonjol dalam masyarakat barat pada zaman modern ialah bahwa “Allah telah mati”. Dengan semboyan ini dimaksudkan bahwa kepercayaan kristiani akan Allah di Eropa barat pada waktu itu sudah layu dan hampir tidak mempunyai peranan real lagi.
Nietzsche menyebut datangnya zaman itu sebagai zaman kreativitas dan kemerdekaan. Sebab dengan “kematian Allah” terbukalah horison seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Tak ada lagi larangan atau perintah, dan kita tidak lagi menoleh pada dunia luar. Ide Allah dalam agama Kristen menurut Nietzsche memusuhi dan memerangi kehidupan dan alam, menghilangkan daya-daya vital kita. Dengan “kematian Allah” manusia tidak lagi bersikap pengecut dan menolak dunia.
Ketidak berdayaan orang melepaskan sebuah kebiasaan disebabkan oleh gerak sejarah yang sudah dibelenggu oleh polusi moral Kristen. Hal ini dapat dilihat dari empat hal. Pertama, moral Kristen memberikan nilai absolut bagi manusia sebagai jaminan bagi dirinya yang merasa kecil dan tidak berarti. Kedua, moral Kristen berlaku sebagai perintah-perintah Tuhan di dunia. Ketiga, moral Kristen menanamkan pengetahuan akan nilai-nilai absolut untuk memahami apa yang dianggap paling penting. Keempat, moral Kristen berperan sebagai sarana pemeliharaan bagi manusia. Keempat hal ini menjadikan manusia merasa aman akan hidupnya, sehingga sulit melepaskannya. Menurut Nietzsche sendiri semestinya manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendirilah yang harus menciptakan dunia dan memberikan nilai. Dan menunjukkan bagaimana harus melakukannya tanpa bercita-cita menciptakan Tuhan-Tuhan baru.
 sumber : https://godforsakenarab.wordpress.com/2013/03/10/tuhan-sudah-mati-sebuah-telaah-pemikiran-nietzsche-mengenai-eksistensi-tuhan/
http://alcharis.blogspot.co.id/2014/06/pemikiran-friedrich-nietzsche.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar